Prof Wim Poli
Last updated
Last updated
Tulisan ini saya rangkum dari akun Facebook
Kini, di dunia perpolitikan, puja-hujat adalah sebuah gejala yang kian mengglobal. Perang-tanding antara lain ditampilkan dalam bentuk baliho raksasa yang terpampang di berbagai tempat strategis.
Jika fotoku diperkecil sekecil-kecilnya, apakah diriku bertambah kecil? Jika fotoku diperbesar sebesar-besarnya, apakah diriku bertambah besar? Besar kemungkinan semua orang akan menjawab kedua pertanyaan ini dengan: TIDAK.
Tidak, karena fotoku bukan diriku. Fotoku dinamakan “phenomenon” oleh Immanuel Kant (1724-1804), tokoh abad pencerahan. Diriku yang sebenarnya dinamakannya “noumenon,” atau “das Ding an sich” (Jerman: barang itu sebagai dirinya sendiri), yang pasti tidak sama dengan “phenomenon.” Renungan: Dipuja atau dihujat orang lain di media sosial atau di mana pun, DIRIKU adalah tetap DIRIKU, yang pasti tidak sepenuhnya dikenal orang lain. – (20/12/2020).
Alexander Agung (356-323 SM) dari Yunani sangat terkenal dengan kepemimpinannya yang membuat Makedonia, kerajaan kecil yang dipimpiminnya, akhirnya menjadi kerajaan dunia yang disegani. Kepemimpinannya ditempa pada usia dini oleh gurunya, Aristotle (384-322 SM).
Sebagai pemimpin perang, ia katakan: “Saya tidak takut pada pasukan singa yang dimpimpin seekor domba; saya takut pada pasukan domba yang dipimpin seekor singa.” Alexander Agung berada di garis depan pertempuran, dekat dengan para prajuritnya, menghadapi bahaya yang sama dengan mereka. Ia tidak bersembunyi di balik tembok istananya yang aman.
Kehadirannya di garis depan membuat para prajuritnya percaya, menghargai dan menaatinya, yang bermuara pada kesatuan gerak mencapai apa yang mau dicapai bersama, Akhirnya, kata Alexander Agung, apa yang layak diingat ialah apa yang sudah dikerjakan, bukan apa yang sudah dikatakan. Kesatuan kata dan perbuatan: integritas. Renungan: Antara kata dan perbuatan mungkin ada jarak. – (17/11/2020)
Aesop adalah pendongeng ulung dari Yunani. Matanya jeli mengamati apa yang terjadi di dalam masyarakat, lalu mengungkapkannya dalam bentuk dongeng, sebagai sumber pemebelajaran hidup yang kaya, bagi masyarakat segala umur. Pada suatu hari, demikian Aesop, dua ekor lembu sedang menarik sebuah pedati di jalan desa yang berlumpur. Beban kerjanya berat, tetapi keduanya tidak berkeluh-kesah.
Berbeda halnya dengan roda pedati. Roda pedati berputar karena tarikan kedua lembu, tetapi berkeluh-kesah dengan bunyi krak-krik-kruk di jalan yang tidak rata dan berkelok-kelok. Bunyinya mengganggu telinga kedua lembu.
Akhirnya keduanya teriak: “Tutup mulutmu! Apa kerjamu? Kami yang menarik beban, dan kamu hanya tahu berkeluh-kesah. Cengeng!” Renungan: Orang yang paling rendah beban kerjanya, mungkin paling tinggi keluh-kesahnya. – (14/12/2020)
Disadari atau tidak, hidup ini adalah adegan tanya-jawab yang berlangsung dari waktu ke waktu. Mutu kehidupan ditentukan oleh mutu pertanyaan dan jawabannya. Apa ilustrasinya yang dipetik dari pengalaman nyata? Beberapa tahun yang lalu penulis dirawat di sebuah rumah sakit, dan ditangani seorang dokter ahli yang ditetapkan Manajemen RS. Setiap kali penulis dikunjungi, sang dokter ahli ini hanya memperhatikan laporan laboratorium di tangannya. Apa yang diperiksakan ke laboratorium dia yang tentukan, menurut keahliannya.
Apa hasil diagnosanya juga hanya dia yang tahu. Pikiran dan hatiku mulai protes. Ada yang tidak beres. Beliau tidak melihat mataku dan kulitku yang memerah, berbintik-bintik. Pikiranku lalu mengingat buku karya Lisa Sanders, “Every Patient Tells A Story” (2009). Ternyata sang dokter ahli ini hanya membaca “cerita laboratorium” tanpa mendengar cerita pasien. Pasien dan dokter berbeda pendapat. Penulis minta kepada Manajemen RS agar dokternya diganti. Permintaan dikabulkan. Mari kita pindah cerita.
Pagi ini, 16 Desember 2020, penulis dikunjungi seorang rekan, yang berpengalaman sebagai wartawan dan pembimbing para penulis muda. Kepadanya penulis perlihatkan sebuah buku baru. Ia langsung membaca judulnya, lalu tangannya membolak-balik bukunya, mencari informasi awal yang diperlukannya, di tempat yang tepat, berdasarkan keahliannya. Akhirnya, ia mohon buku tersebut dipinjamkan kepadanya.
Dapat diumpamakan bahwa rekan tersebut adalah “dokter ahli” yang menangani buku sebagai “pasien” yang bercerita kepadanya. Berdasarkan cerita itu ia mau memeriksakan “pasiennya” ke laboratorium, untuk menegakkan diagnosanya. Mari pindah cerita lagi. Pembangunan bangsa dan negara dilakukan pemimpin sebagai “dokter ahli.” Pertanyaan apa yang relevan diajukan sangat ditentukan oleh keahlian sang pemimpin.
Pertanyaannya mungkin saja berbeda dari pertanyaan yang diajukan orang lain. Akibatnya, diagnosa dan terapi pembangunannya mungkin saja berbeda dari yang ditetapkan orang lain. Perbedaan ini berpeluang menghasilkan kegaduhan politik. Renungan: Dalam hal pembangunan, dibutuhkan waktu yang panjang untuk memperoleh umpan balik apakah diagnosa dan terapi sang pemimpin benar, sehingga dilanjutkan, ataukah perlu dimodifikasi. -- (16/12/2020)
Aesop adalah pendongeng ulung dari Yunani. Matanya jeli mengamati apa yang terjadi di dalam masyarakat, lalu mengungkapkannya dalam bentuk dongeng, sebagai sumber pemebelajaran hidup yang kaya, bagi masyarakat segala umur. Pada suatu saat, demikian Aesop, keluarga burung menyatakan perang kepada keluarga hewan lain yang sering memangsa mereka, seperti kucing dan serigala.
Di lain pihak, burung elang tidak henti-hentinya memangsa kelinci, dan burung hantu tidak hentinya memangsa tikus. Korban terus berjatuhan. Belum ada PKH, yaitu Persatuan Keluarga Hewan, sebagai badan penjaga perdamaian. Satu-satunya pihak yang berubah-ubah menyatakan keberpihakannya adalah keluarga kelelawar.
Mereka menerapkan kebijakan “wait and see.” Tunggu! Lihat situasi! Mereka selalu berpihak kepada pemenang. Akibat korban yang terus berjatuhan, akhirnya sejumlah hewan yang waras memrakarsai Konperensi Perdamaian Keluarga Hewan di kota Antahberantah. Konperensi berhasil merumuskan sebuah Piagam Perdamaian. Di samping itu, konperensi juga menyepakati sebuah resolusi tentang keluarga kelelawar. Keluarga ini dikucilkan.
Akibatnya, keluarga kelelawar mencari makan pada malam hari, ketika mana hewan lainnya sedang tidur. Mereka memilih tempat tinggal di gua-gua atau reruntuhan gedung-gedung tua yang tidak lagi berpenghuni. Renungan: Pengucilan atas dasar kelicikan. – (15/12/2020)
Aesop adalah pendongeng ulung dari Yunani. Matanya jeli mengamati apa yang terjadi di dalam masyarakat, lalu mengungkapkannya dalam bentuk dongeng, sebagai sumber pemebelajaran hidup yang kaya, bagi masyarakat segala umur. Pada suatu hari, demikian Aesop, seekor serigala muda untuk pertama kalinya berjumpa dengan seekor singa. Begitu melihat sang singa, sang serigala muda langsung tempuh langkah seribu, gemetaran, menyembunyikan dirinya. Cerita masih berlanjut. Ketika berjumpa dengan sang singa pada kedua kalinya, sang serigala muda masih ketakutan. Ia bersembunyi di balik sebuah pohon, mengintip ke arah sang singa, lalu melarikan diri ke tempat yang aman. Pada perjumpaan yang ketiga sang serigala muda sudah menjadi terbiasa dan hilang ketakutannya. Dengan berani ia menyapa: “Halo. Apa kabar?” Seketika ia diterkam. Renungan: Terbiasa melihat bahaya berpeluang menurunkan kewaspadaan. Covid-19? -- (15/12/2020)
Aesop adalah pendongeng ulung dari Yunani. Matanya jeli mengamati apa yang terjadi di dalam masyarakat, lalu mengungkapkannya dalam bentuk dongeng, sebagai sumber pemebelajaran hidup yang kaya, bagi masyarakat segala umur.
Dahulu kala, demikian Aesop, burung merak tidaklah anggun seperti sekarang. Merak adalah burung kesayangan Dewi Yuno, isteri dari Yupiter, kepala para dewa. Sebagai burung kesayangannya Yuno, sang merak merengek, minta bulunya menjadi warna-warna, agar ia dapat tampil anggun di antara semua burung yang ada. Permintaannya dipenuhi. Dengan anggunnya ia tampilkan diri ke sana ke mari, yang menimbulkan rasa iri pada burung-burung lain yang ada di istana Yuno. Cerita belum selesai.
Pada suatu hari sang merak melihat seekor elang melayang ke angkasa, lalu menukik tajam ke bawah, menangkap mangsanya dengan cakarnya yang tajam. Sang merak menjadi iri, dan mulai mengepakkan sayapnya untuk mengangkasa, seperti yang dulunya dapat dikerjakannya dengan mudah. Kini, tidak lagi. Kemerdekaannya telah sirna.
Renungan: Penampilan yang anggun di depan umum ada harganya. – (14/12/2020)
Aesop, pendongeng ulung dari Yunani, punya mata yang jeli, yang menangkap berbagai gejala keseharian di dalam kehidupan masyarakat. Hasil pengamatannya dituangkan dalam berbagai dongeng, menjadikannya sumber pembelajaran yang kaya, bagi hati dan telinga yang sudi dengar. Segala umur!
Pada suatu hari, demikian Aesop, seekor kumbang bertandang ke seekor elang, membujuknya untuk tidak memangsa temannya, seekor kelinci. Sang elang tidak peduli himbauan sesama hewannya, bahkan mengibaskan sayapnya yang menyebabkan sang kumbang terlempar dari tempatnya. Sang kumbang marah dan putar otaknya yang kecil, bagaimana caranya membalas dendam terhadap elang yang perkasa.
Ketika tiba musim semi, sang kumbang merayap ke atas pohon, menemukan sarang di mana elang meletakkan telurnya. Sekuat tenaga ia mendorong telurnya satu per satu hingga pecah berantakan di atas tanah. Sang elang marah alang kepalang, tetapi tidak menemukan siapa pelakunya. Hal yang sama terjadi lagi pada musim semi berikutnya. Ketika berputus asa, sang elang mendatangi Dewa Yupiter, memintanya agar telurnya diletakkan di pangkuan Yupiter sehingga aman dari pengganggunya. Pemintaan diterima. Tetapi, tanpa kehilangan akal, sang kumbang terbang ke kuping Yupiter, mengganggunya dengan dengungan kepakan sayapnya. Karena terganggu Yupiter bangkit, sehingga telur elang di pangkuannya jatuh dan pecah berantakan.
Sang kumbang lalu menjelaskan tindakannya kepada Yupiter. Sebagai dewa yang adil Yupiter membuat keputusan yang adil bagi kedua belah pihak. Elang sudah banyak menderita. Kumbang sudah balas dendamnya. Keputusan Yupiter ialah: pada setiap musim semi, ketika elang bertelur, sang kumbang melalukan waktunya dengan tidur di sarangnya, di bawah tanah. Demikian sabda Yupiter.
Renungan: Daya dendam pihak kecil mungkin tidak kecil. – (06/12/2020)
Rekam jejak di pasir pantai, segera terhapus oleh hempasan air laut. Tidak ada bekasnya. Tidak demikian halnya dengan rekam jejak digital, yang sewaktu-waktu dapat diputar kembali dan disajikan dengan berbagai bumbu penyedap kepada publik. Renungan: Rekam jejakku? -- (10/12/2020)…
Aesop, pendongeng ulung dari Yunani, punya mata yang jeli, yang menangkap berbagai gejala keseharian di dalam kehidupan masyarakat. Hasil pengamatannya dituangkan dalam berbagai dongeng, menjadikannya sumber pembelajaran yang kaya, bagi hati dan telinga yang sudi dengar. Segala umur!
Pada suatu hari, demikian Aesop, Singa, si Maha Raja, marah besar. Ketika sedang menyantap seekor kambing, tanduk kambing menyangkut di kerongkongannya. Ia segera bertitah, semua hewan bertanduk harus meninggalkan wilayah kerajaannya. Semua hewan cemas dan tidak dapat tidur sepanjang malam. Ketika fajar merekah, semuanya siap-siap untuk hijrah, termasuk seekor kelinci.
Sang kelinci tidak bertanduk, tetapi telinganya yang panjang dan tegak menonjol tampak seperti tanduk. Lebih dari itu, jangkrik, tetangganya, tidak henti berkerik-kerik, menyebarkan berita bahwa kelinci adalah hewan bertanduk. Pikir kelinci, apa pun pendapatku, para hewan yang tipis telinga mungkin lebih percaya pada ocehan tetanggaku yang satu ini ketimbang fakta yang obyektif.
Renungan: Daya sebar berita palsu !!! –(06/12/2020)
Para awak pesawat angkasa luar Amerika - yang dinamakan “astronaut” – menggunakan pena berisi tinta. Di angkasa luar, tintanya membandel, tidak mau keluar dari penanya. Amerika putar otak untuk mengembangkan pena yang dapat digunakan. Berhasil, tetapi biayanya mahal. Batal digunakan.
Lain ceritanya tentang para awak pesawat angkasa luar Rusia, yang dinamakan “kosmonaut.” Nama “austronaut” dan “kosmonaut” sama maknanya, tetapi harus ditampilkan beda dalam iklim perang dingin. Para kosmonaut menggunakan pensil yang murah-meriah, bukan pena berisi tinta. Dengan sepotong informasi ini beredarlah cerita berdasarkan imajinasi, bahwa orang Amerika berpikir canggih tetapi tidak praktis, dibandingkan dengan orang Rusia. Ternyata cerita ini keliru, tetapi sudah terlanjur beredar luas dengan berbagai bumbu penyedapnya.
Pinsil yang digunakan Rusia memang murah-meriah, tetapi gampang patah di angkasa luar, dan menimbulkan debu kayu yang gampang terbakar di dalam pesawat yang kaya oksigen. Murah-meriah tetapi dapat berubah menjadi malapetaka yang merugikan dan memalukan di mata dunia .
Dengan imajinasinya orang dapat menggunakan “sepotong informasi” untuk menghasilkan “cerita lengkap” yang masuk akal. Makin sedikit informasinya, makin kuat imajinasinya, makin laku ceritanya.
Renungan: Kian miskin informasi, kian tinggi imajinasi, menuju “cerita lengkap” yang hangat, menghanyutkan dan menggaduhkan. Daya edarnya tinggi, lewat “cerita burung.” – (09/12/2020)
Aesop adalah pendongeng ulung dari Yunani. Matanya jeli mengamati apa yang terjadi di dalam masyarakat, lalu mengungkapkannya dalam bentuk dongeng, sebagai sumber pemebelajaran hidup yang kaya, bagi masyarakat segala umur.
Pada suatu hari, demikian Aesop, Tikus sedang bepergian di sebuah jalan bebas hambatan. Ia bangga, karena sebagai makhluk kecil dapat bepergian di jalan bebas hambatan, tidak seperti tikus-tikus lainnya. Tiba-tiba tampak rombongan Maha Raja lewat di jalan yang sama. Kereta Maha Raja ditarik Gajah, dikawal Anjing dan Kucing raksasa. Banyak hewan tampil menyaksikan pawai besar yang mempesona ini. Tidak satu pun memperhatikan sang tikus kecil di tepi jalan. Ia tersinggung berat. Apa beda dirinya dari gajah? Keduanya adalah hewan berkaki empat, dengan dua mata dan dua telinga.
Karena tersinggung, Tikus unjuk kesal dengan suara melengking: “Apa hebatnya gajah itu? Badannya besar, belalainya panjang, kulitnya kasar, otaknya kecil.” Kucing, anggota pasukan pengawal Maha Raja, bertindak cepat dan tepat waktu. Selesai!
Renungan: Sesal unjuk kesal? – (08/12/2020)
Aesop adalah pendongeng ulung dari Yunani. Matanya jeli mengamati apa yang terjadi di dalam masyarakat, lalu mengungkapkannya dalam bentuk dongeng, sebagai sumber pemebelajaran hidup yang kaya, bagi masyarakat segala umur.
Pada suatu hari, demikian Aesop, dua pemuda pengelana sedang berkelana, lewat sebuah jalan besar. Salah seorangnya menemukan sebuah dompet berisi sejumlah uang di tengah jalan. Katanya: “Langkah kanan. Aku beruntung; menjadi kaya.” Kata rekannya: “Jangan katakan Aku, melainkan Kita, dua rekan akrab seperjalanan.” Dengan lantang kata rekannya: “Aku yang menemukannya, bukan Kita.”
Tiba-tiba tampak mendekat sejumlah orang dengan teriakan: “Pencuri! Tangkap pencurinya!” Kata pemuda pertama dengan gemetaran: “Apa yang harus Kita kerjakan?” Kata rekannya: “Jangan katakan Kita, melainkan Aku.”
Renungan: Aku dan Kita dalam suka dan duka! – (08/12/2020)
Peter Drucker (1909-2005) sudah prediksi pada tahun 1957 bahwa pekerja terpelajar (knowedge worker) adalah gejala fenomenal abad XXI. Sampai tingkat tertentu pekerja semacam ini mempunyai pengetahuan, ketrampilan, dan kemauan untuk unjuk karyanya sebagai identitas diri. Potensi dirinya akan kian terwujud jika ia diakui sebagai pemilik masalah di bidang tugasnya, dan diberikan kebebasan untuk kreatif memecahkan masalahnya, baik secara mandiri maupun dengan dukungan orang lain.
Konsep “genchi genbutsu” dari Jepang sangat relevan untuk diterapkan di lingkungan para pekerja terdidik. “Genchi genbutsu” - yang berarti “pergi dan lihat” - adalah prinsip kunci dari Sistem Produksi Toyota. Untuk memahami masalah yang dihadapi, pemilik masalah harus pergi sendiri ke tempat yang sebenarnya (“gemba”), di mana pekerjaan dilakukan.
Padanannya dalam bahasa Indonesia adalah “blusukan.” Pemilik masalah dapat juga memecahkan masalahnya dengan bantuan orang lain, misalnya, atasannya, rekan sekerjanya, bawahannya, atau seseorang konsultan eksternal. Tetapi, orang lain yang memberikan bantuan tersebut tidak boleh mengambil alih pemecahan masalah dari pemilik masalah. Pengambil-alihan pemecahan masalah dari tangan pemilik masalah dapat berakibat pemilk masalah: (1) kehilangan kegairahan pemecahan masalah; (2) mengalihkan bebannya kepada orang lain; (3) tidak berkembang pengetahuan dan kemampuannya memecahkan masalah.
Para akademisi di lingkungan perguruan tinggi cenderung menghendaki adanya kebebasan berpikir dan berkarya, dan tidak suka dibatasi oleh berbagai peraturan yang diterapkan administrator perguruan tinggi. Demikian juga kecenderungan kehendak para pekerja terdidik lainnya.
Pesan: Kepemimpinan partisipatif merupakan prasyarat terwujud dan meningkatnya kreativitas dan produktivitas para pekerja terdidik
Peter F. Drucker (1909-2005), Guru para Guru Manajemen abad XX-XXI, menuturkan sebuah pengalaman yang sederhana, tetapi yang sangat berpengaruh dalam perjalanan hidup diri dan rekan-rekan sekelasnya. Pada suatu hari, guru agamanya, Pflieger, bertanya di kelas: “Kalian mau dikenangkan sebagai apa di dalam hidup ini?”
Tidak ada yang dapat menjawab pertanyaan ini. Kata gurunya melanjutkan: “Saya memang tidak berharap kalian dapat menjawab pertanyaan ini sekarang. Tetapi, kalau sampai usia 50 tahun kalian belum dapat menjawabnya, hidupmu mungkin telah disia-siakan.”
Enampuluh tahun kemudian, kelas tersebut mengadakan reuni, ketika mana sang guru sudah meninggal. Salah seorang peserta reuni bertanya, apakah mereka masih ingat pertanyaan yang ditanyakan guru mereka. Semuanya masih ingat, dan semuanya sepakat bahwa pertanyaan itu telah membawa perubahan yang menentukan dalam perjalanan hidup mereka, walaupun mereka belum mengerti pertanya-annya ketika ditanyakan guru mereka puluhan tahun yang lalu.
Pertanyaan yang tampak sepele di atas telah menentukan perjalanan hidup Drucker. Ia memilih dunia usaha sebagai bidang pengabdiannya. Dari sana ia beranjak kemudian ke perguruan tinggi, membuka dan menjalankan Program Pascasarjana di bidang Manajemen hingga akhir hayatnya. Ia meninggal pada usia 96 tahun.
Renungan: Sebuah pertanyaan yang tampak sepele hari ini, dapat menentukan makna kehidupan orang lain puluhan tahun ke depan.
Sebuah pepatah Indonesia berbunyi: “Harimau mati meninggalkan belangnya, gajah mati meninggalkan gadingnya.” Pepatah ini sangat relevan diterapkan pada kehidupan almarhum Lee Kuan Yew (1923-2015), Perdana Menteri pertama Singapura, yang meninggal pada 23 Maret 2015. Empat tahun sebelum meninggal ia mengumpulkan sejumlah wartawan, yang ditugaskannya untuk mewancarai para pemuda Singapura, mengungkapkan apa yang ada di benak mereka. Berbekal hasil wawancara tersebut para wartawan ini selanjutnya mewancarai Lee Kuan Yew selama 32 jam. Hasil akhirnya ialah, terbitnya sebuah buku dengan judul “Hard Truths to Keep Singapore Going” pada tahun 2011. Buku tersebut berisi fakta yang gamblang, bagaikan “gading gajah” yang diwariskannya kepada Singapura.
Salah seorang wartawan perempuan termuda memberikan kesaksiannya tentang wawancara tersebut sebagai berikut: “Ketika berbicara, matanya bernyala-nyala, dengan gigi yang digertakkan. Ia mengepalkan tinjunya dan suaranya menggumpal ke dalam kerongkongannya sebelum dimuntahkan ke luar Pada saat itu, pancaran mukanya menampakkan kembali determinasi yang menyala-nyala sebagai seorang pemimpin muda pada tahun 1950an dan 1960an, ketika ia menyemangati rakyatnya sendiri. Orang lalu mengingat kembali bahwa Lee dilahirkan sebagai pemimpin.”
Renungan: Warisan terbaik seseorang pemimpin kepada generasi penerusnya ialah kepedulian dan keteladanannya, yang menjadi modal keberlanjutan pembangunan di masa depan. Berlaku juga untuk diriku dan bangsaku, Indonesia.
(02/07/2017)
Mengapa heran? Orang heran melihat sesuatu yang baru karena belum ada rekaman di dalam otaknya tentang apa yang sedang dilihatnya. Ketika mobil Ford muncul pertama kali di jalanan di Amerika, orang keheranan melihatnya, karena rekaman yang ada di dalam otaknya ialah: kereta yang ditarik kuda. Dengan bertanya dan memahami apa yang mengherankan, muncul rekaman baru, yang meniadakan rekaman lama di dalam otak. Orang tidak lagi heran melihat kereta yang berjalan tanpa kuda.
Setiap orang yang menggagaskan perubahan di dalam sesuatu organisasi seyogianya mengantisipasi tanggapan negatif dari mereka yang masih bermental “kereta kuda.” Pertanyaan: Apakah ada “kereta kuda” di dalam benak diri dan bangsaku, kini dan di sini?
Pada tanggal 28 Januari 1986 dunia dikejutkan oleh meledaknya pesawat ulang-alik Challenger, yang menewaskan tujuh orang awaknya. Apa penyebabnya, dan apa pelajarannya?
Hasil penelitian mengungkapkan bahwa penyebab ledakan adalah O-ring, yaitu sebuah cincin di bagian belakang pesawat, yang patah dalam suhu yang sangat dingin. Ciri O-ring ini sudah diketahui, tetapi informasinya tidak sampai ke manajemen puncak NASA. Mengapa?
Manajemen puncak NASA adalah orang-orang profesional yang tahu tentang tugasnya, tetapi tidak cukup menghargai “berita buruk” yang disampaikan para bawahan kepada mereka. Bawahan harus mampu menyelesaikan sendiri masalah yang dihadapinya. Dari pengalamannya, para bawahan “belajar” untuk tidak menyampaikan berita buruk kepada atasan. Menangani fakta brutal secara produktif tidak menjadi ciri Kebudayaan Organisasi NASA, yang didominasi oleh “kepintaran” manajemen puncak. Tetapi, apakah itu Kebudayaan Organisasi?
Secara singkat, Kebudayaan Organisasi adalah caranya orang bepikir dan berperilaku di dalam sesuatu organisasi, yang terbentuk oleh pengalaman pemecahan masalah internal dan eksternal dalam perjalanan waktu. Pengalaman yang berhasil cenderung akan diulang-ulangi sehingga terbentuk pola berpikir dan berperilaku yang cenderung terus dipertahankan sebagai jati-diri organisasi.
Pesan: Sumber kesalahan terbesar dalam pemecahan masalah dapat terletak pada hubungan antar manusia di dalam kebudayaan organisasi yang didominasi oleh perilaku manajemen puncak.
Preisden Suharto dan Perdana Menteri Singapura, Lee Kuan Yew, berbeda usia tiga tahun. Suharto lebih tua. Keduanya adalah negarawan yang berkali-kali bertemu empat mata, membicarakan hal-hal mendasar dan genting, menyangkut hubungan kedua negara. Suhu hubungan kedua negara sering naik-turun, tetapi selalu terkendali karena keduanya mengandalkan pertemuan empat mata.
Suharto dan rakyat Indonesia marah ketika Singapura menghukum mati dua marinir Indonesia pada tahun 1968. Suhu diplomatik yang tinggi akibat kejadian ini baru menyejuk lima tahun kemudian pada saat kunjungan Lee Kuan Yew ke Indonesia pada bulan Mei 1973. Berdasarkan berbagai saran Lee Kuan Yew setuju untuk, setelah meletakkan karangan bunga di Makam Pahlawan Kalibata mengenang para jenderal yang dibunuh pada peristiwa kudeta PKI yang gagal pada bulan September 1965, bersedia pula mengunjungi dan menaburkan bunga di makam dua marinir yang dihukum mati oleh Singapura pada tahun 1968. Ketegangan berakhir menjadi persahabatan.
Hubungan kedua negara anjlok lagi pada akhir tahun 1975. Ketika itu, pada saat pemungutan suara di Sidang Umum PBB tentang aneksasi Timor Timur ke dalam Republik Indonesia, wakil Singapura mengajukan suara abstain, berbeda dari negara-negara ASEAN lainnya (Asosiasi Negara-Negara Asia Tenggara dibentuk pada bulan Agustus 1967 di Bangkok). Berita yang sampai ke telinga Lee Kuan Yew ialah, Presiden Suharto marah besar, lebih marah ketimbang marahnya pada saat dua marinir Indonesia dihukum mati.
Sekali lagi ketegangan antar negara yang sangat eksplosif ini dapat dikendalikan melalui pertemuan empat mata kedua pemimpin negara pada 29 November 1976 di Singapura. Dengan tegas dan terbuka Suharto menyatakan pendapatnya, kemudian dengan sabar mendengar pendapat Lee Kuan Yew. Lee Kuan Yew menyatakan bahwa Singapura tidak mempersoalkan aneksasi Timor Timur ke dalam Republik Indonesia. Tetapi, Singpura tidak dapat secara terbuka menyatakan persetujuannya atas serangan dan pendudukan Indonesia terhadap Timor Timur oleh Indonesia. Kalau Singapura menyetujuinya, dunia mendapat kesan yang salah tentang posisi Singapura mempertahankan keselamatan negaranya. Suharto mengerti dan menerima penjelasan Lee Kuan Yew.
Berdasarkan pengalaman beberapa pertemuan empat mata tersebut, Lee Kuan Yew berpendapat bahwa Suharto adalah pendengar yang baik, tidak gampang membuat janji, tetapi sekali ia membuat janji, ia akan setia menepatinya.
Pesan: Dialog yang terbuka dan tulus adalah jalan yang ampuh mengatasi perbedaan pendapat ke arah menang-menang. Kebutuhan masa kini di Indonesia?
Kita tidak hanya berbicara tentang konflik melainkan juga kebersamaan dalam perbedaan, yang menjadi dasar kehidupan yang bermakna, tanpa konflik. Itulah yang dikagumi oleh Charles Handy ketika ia melihat salah sebuah lukisan Vincent van Gogh (1853-1890), pelukis Belanda yang kesohor. Lukisannya adalah lukisan bunga iris putih, yang sendirian berada di tengah sekumpulan bunga iris ungu. Charles Handy langsung menidentifikasi bunga iris putih itu sebagai dirinya sendiri. (Charles Handy, “The Hungry Spirit; New Thinking for A New World”; 2002: 130). Ia merasa dirinya berbeda dari orang lain, tetapi sekaligus juga merasa membutuhkan orang lain, tanpa menutupi perbedaannya. Ia membayangkan, apa kesannya andaikata bunga iris putih yang satu itu tidak berada di tengah-tengah sekelompok bunga iris lainnya yang berwarna ungu.
Tampaknya, tanpa suara, van Gogh berbicara dengan lantang kepada para pengagumnya sepanjang abad untuk menghargai perbedaan yang saling mendukung eksistensi masing-masing pihak di alam raya ini. Kesaksian van Gogh dengan lukisannya sejalan dengan ungkapan psikolog kenamaan, Carl Gustav Jung (1875-1961), yang mengatakan bahwa: “Aku membutuhkan Kita untuk menjadi Aku yang sebenarnya”.
Pesan: Kebinekaan di dalam organisasi tidak perlu menjadi sumber konflik, melainkan perbedaan yang saling mengisi untuk mengokohkan kehadiran organisasi di dalam lingkungan di mana ia berada.